Tuesday, May 18, 2010

Robin Hood, Si Jantan Yang Diubah Menjadi Flamboyan

Kisah Robin Hood telah berkali-kali difilmkan. Terakhir dirilis beberapa tahun lalu dengan dibintangi Kevin Costner, dan sukses besar. Bahkan sound tracknya, "Everything I Do, I Do It For You" yang dilantunkan Brian Adam, sempat nangkring di tangga-tangga lagu di seluruh dunia selama beberapa pekan. Kini Robin Hood hadir lagi di bioskop dengan peran utama Russel Crowe yang sukses membintangi 'Gladiator', 'Beautifull Mind', dan lain-lain. Apa lagi yang bisa diceritakan dari kisah perampok berhati mulia dari Hutan Sherwood, Inggris, itu?

Agar tidak menjemukan dan klise, Ridley Scott yang terkenal pintar menafsir kisah-kisah epik sejarah dengan tafsir kontemporer, dan sukses dengan film 'Kingdom of Heaven', 'Gladiator' dan 'Duelist', berhasil mempermak legenda Robin Hood yang selama ini diasumsikan sebagai kisah dongeng remaja dan anak-anak, menjadi sebuah kisah baru yang lebih segar, hidup dan menyejarah. Tanpa kompromi, Scott menafsir ulang karakter Robin Hood secara modern. Sang perampok budiman itu dihidupkan kembali dengan karakter yang lebih jantan, lugas dan membumi. Ia bukan seorang bangsawan bercelana hijau ketat dengan panah selalu di punggung, dan gerak tubuh seorang jagoan flamboyan, melainkan ditampilkan sebagai seorang Robin Longstride berstatus prajurit rendahan yang ahli memanah, yang belakangan mengetahui kalau dirinya hanya anak seorang tukang batu.
Alkisah, pada awal abad 12, tepatnya tahun 1199, kondisi kerajaan Inggris sedang serba semrawut. Kerajaan itu terancam bangkrut. Harta kekayaan kerajaan terkuras untuk membiayai petualangan perang raja Richard sang Lion Heart, dalam perang salib.
Malangnya, dalam perjalanan pulang dari Yerusalem, Richard tewas, saat memimpin upaya penahlukan sebuah kastil kerajaan Perancis. Kondisi caos akibat tewasnya raja Richard ini, dimanfaatkan Robin yang tengah dihukum karena kasus "ketidaksopanan" terhadap sang raja, untuk desersi.
Dalam pelarian, tanpa sengaja Robin berhasil menggagalkan upaya perampasan mahkota Raja Richard, oleh Sir Godfrey, oknum pejabat kerajaan Inggris, yang berkhianat, dan bersekutu diam-diam dengan Raja Phillip dari Perancis.
Insiden ini kemudian menuntun Robin menuju Nottingham, dan menemukan sejarah hidup serta takdirnya sebagai seorang legenda.

Tanpa Embel-embel
Film 'Robin Hood' yang tanpa embel-embel tambahan judul apapun ini, memang seperti sebuah prekuel dari berbagai kisah legenda Robin Hood yang selama ini sering dikisahkan. Kisah film ini, bertutur tentang perjuangan dan sepak-terjang Robin Longstride, hingga akhirnya dia menjadi buronan kerajaan, dan masuk hutan Sherwood menjadi penjahat budiman yang dikagumi.
Kisah dan penokohan dalam film, yang skenarionya ditulis Brian Helgeland ini, mengalami perubahan signifikan. Robin jadi rakyat biasa. Raja Richard, yang pada banyak kisah Robin Hood sebelumnya, digambarkan hidup dan pulang untuk merebut kembali tahta kerajaan Inggris, sudah dimatikan sang sutradara di awal cerita.
Dan hei Lady Marion (diperankan dengn bersinar oleh Cate Blancett), kekasih pahlawan kita itu diberi tafsir feminis. Di film ini, Marion bukan lagi Maid Marion, seorang putri cantik, yang tidak berdaya menungggu dibebaskan sang pangeran. Melainkan seorang perempuan penuh warna, yang cerdas dan tidak takut bertempur.
Menyenangkan melihat chemistry antara Russel Crowe dan Cate Blanchett sebagai pasangan kisah legenda itu. Tak ada soundtrack sejenis 'Everything I Do I Do It For You' yang membuat kelepek-kelepek perempuan era 1990-an. Tapi romantisme Robin-Marion, mampu dihadirkan dua peraih Oscar asal Australia tersebut dengan sangat natural, namun menggemaskan.
Bila ada cacat kecil yang bisa mengganggu kenikmatan menonton film ini, mungkin adalah imej dan tampilan fisik Russel Crowe, yang dengan segera akan mengingatkan kita pada karakter Maximus, yang dimainkannya dalam film 'Gladiator'. Meski sebagai Robin Hood, Crowe tidak bermain buruk, namun terasa sekali tidak ada usaha radikal untuk, misalnya, mengubah tampilan fisik Russell. Namun, cacat kecil tidak ada artinya, dibanding kegemilangan duet Scott-Russell menafsir kisah klasik ini, menjadi kisah sejarah kontemporer yang cerdas, dan kontekstual.
Orasi Robin Longstride, di tugu Magna Carta (sesaat sebelum bangsawan dan rakyat Inggris bersatu melawan Perancis) untuk mendesak Raja John mengakui kedaulatan warganya, sebelum ia menuntut kesetiaan rakyatnya, adalah pesan penuh amarah yang hingga kini masih sering kita dengar, di berbagai pojok dunia yang penuh penderitaan ini. (detik.com)

No comments:

Post a Comment